bila kita mampu mengumpulkan kebaikan dalam setiap tindakan-tindakan kecil kita, maka kita akan dapati kebesaran dalam jiwa kita

05 April, 2009

KISAH LIMA PERKARA ANEH

Abu Laits as-Samarqandi adalah seorang ahli fiqh yang masyur. Suatu ketika dia pernah berkata, ayahku menceritakan bahwa antara Nabi-nabi yang bukan Rasul ada menerima wahyu dalam bentuk mimpi dan ada yang hanya mendengar suara.
Maka salah seorang Nabi yang menerima wahyu melalui mimpi itu, pada suatu malam bermimpi diperintahkan yang berbunyi, “Esok engkau dikehendaki keluar dari rumah pada waktu pagi menghala ke barat. Engkau dikehendaki berbuat, pertama; apa yang negkau lihat (hadapi) maka makanlah, kedua; engkau sembunyikan, ketiga; engkau terimalah, keempat; jangan engkau putuskan harapan, yang kelima; larilah engkau daripadanya.”

Pada keesokan harinya, Nabi itu pun keluar dari rumahnya menuju ke barat dan kebetulan yang pertama dihadapinya ialah sebuah bukit besar berwarna hitam. Nabi itu kebingungan sambil berkata, “Aku diperintahkan memakan pertama aku hadapi, tapi sungguh aneh sesuatu yang mustahil yang tidak dapat dilaksanakan.”
Maka Nabi itu terus berjalan menuju ke bukit itu dengan hasrat untuk memakannya. Ketika dia menghampirinya, tiba-tiba bukit itu mengecilkan diri sehingga menjadi sebesar buku roti. Maka Nabi itu pun mengambilnya lalu disuapkan ke mulutnya. Bila ditelan terasa sungguh manis bagaikan madu. Dia pun mengucapkan syukur ‘Alhamdulillah’.

Kemudian Nabi itu meneruskan perjalanannya lalu bertemu pula dengan sebuah mangkuk emas. Dia teringat akan arahan mimpinya supaya disembunyikan, lantas Nabi itu pun menggali sebuah lubang lalu ditanamkan mangkuk emas itu, kemudian ditinggalkannya. Tiba-tiba mangkuk emas itu terkeluar semula. Nabi itu pun menanamkannya semula sehingga tiga kali berturut-turut.
Maka berkatalah Nabi itu, “Aku telah melaksanakan perintahmu.” Lalu dia pun meneruskan perjalanannya tanpa disadari oleh Nabi itu yang mangkuk emas itu terkeluar semula dari tempat ia ditanam.

Ketika dia sedang berjalan, tiba-tiba dia ternampak seekor burung helang sedang mengejar seekor burung kecil. Kemudian terdengarlah burung kecil itu berkata, “Wahai Nabi Allah, tolonglah aku.”
Mendengar rayuan burung itu, hatinya merasa simpati lalu dia pun mengambil burung itu dan dimasukkan ke dalam bajunya. Melihatkan keadaan itu, lantas burung helang itu pun datang menghampiri Nabi itu sambil berkata, “Wahai Nabi Allah, aku sangat lapar dan aku mengejar burung itu sejak pagi tadi. Oleh itu janganlah engkau patahkan harapanku dari rezekiku.”

Nabi itu teringatkan pesanan arahan dalam mimpinya yang keempat, iaitu tidak boleh putuskan harapan. Dia menjadi kebingungan untuk menyelesaikan perkara itu. Akhirnya dia membuat keputusan untuk mengambil pedangnya lalu memotong sedikit daging pehanya dan diberikan kepada helang itu. Setelah mendapat daging itu, helang pun terbang dan burung kecil tadi dilepaskan dari dalam bajunya.
Selepas kejadian itu, Nabi meneruskan perjalannya. Tidak lama kemudian dia bertemu dengan satu bangkai yang amat busuk baunya, maka dia pun bergegas lari dari situ kerana tidak tahan menghidu bau yang menyakitkan hidungnya. Setelah menemui kelima-lima peristiwa itu, maka kembalilah Nabi ke rumahnya. Pada malam itu, Nabi pun berdoa. Dalam doanya dia berkata, “Ya Allah, aku telah pun melaksanakan perintah-Mu sebagaimana yang diberitahu di dalam mimpiku, maka jelaskanlah kepadaku erti semuanya ini.”

Dalam mimpi beliau telah diberitahu oleh Allah S.W.T. bahwa, “Yang pertama engkau makan itu ialah marah. Pada mulanya nampak besar seperti bukittetapi pada akhirnya jika bersabar dan dapat mengawal serta menahannya, maka marah itu pun akan menjadi lebih manis daripada madu.
Kedua; semua amal kebaikan (budi), walaupun disembunyikan, maka ia tetap akan nampak jua. Ketiga; jika sudah menerima amanah seseorang, maka janganlah kamu khianat kepadanya. Keempat; jika orang meminta kepadamu, maka usahakanlah untuknya demi membantu kepadanya meskipun kau sendiri berhajat. Kelima; bau yang busuk itu ialah ghibah (menceritakan hal seseorang). Maka larilah dari orang-orang yang sedang duduk berkumpul membuat ghibah.”

Saudara-saudaraku, kelima-lima kisah ini hendaklah kita semaikan dalam diri kita, sebab kelima-lima perkara ini sentiasa saja berlaku dalam kehidupan kita sehari-hari. Perkara yang tidak dapat kita elakkan setiap hari ialah mengata hal orang, memang menjadi tabiat seseorang itu suka mengata hal orang lain. Haruslah kita ingat bahwa kata-mengata hal seseorang itu akan menghilangkan pahala kita, sebab ada sebuah hadis mengatakan di akhirat nanti ada seorang hamba Allah akan terkejut melihat pahala yang tidak pernah dikerjakannya. Lalu dia bertanya, “Wahai Allah, sesungguhnya pahala yang Kamu berikan ini tidak pernah aku kerjakan di dunia dulu.”

Maka berkata Allah S.W.T., “Ini adalah pahala orang yang mengata-ngata tentang dirimu.” Dengan ini haruslah kita sedar bahwa walaupun apa yang kita kata itu memang benar, tetapi kata-mengata itu akan merugikan diri kita sendiri. Oleh kerana itu, hendaklah kita jangan mengatan hal orang walaupun ia benar.

Kisah Abu Qudamah

Abu Qudamah dahulu dikenal sebagai orang yang hatinya dipenuhi kecintaan akan jihad fi sabilillah. Tidak pernah dia mendengar akan jihad fi sabilillah, atau adanya perang antara kaum muslimin dengan orang kafir, kecuali dia selalu ikut serta bertempur di pihak kaum muslimin.

Suatu ketika saat ia sedang duduk-duduk di Masjidil Haram, ada seseorang yang menghampirinya seraya berkata: "Hai Abu Qudamah, anda adalah orang yang gemar berjihad di jalan Allah, maka ceritakanlah peristiwa paling ajaib yang pernah kau alami dalam berjihad."

"Baiklah, aku akan menceritakannya bagi kalian," kata Abu Qudamah.
"Suatu ketika aku berangkat bersama beberapa sahabatku untuk memerangi kaum Salibis di beberapa pos penjagaan dekat perbatasan. Dalam perjalanan itu aku melalui kota Raqqah (sebuah kota di Irak, dekat sungai Eufrat). Di sana aku membeli seekor unta yang akan kugunakan untuk membawa persenjataanku. Di samping itu aku mengajak warga kota lewat masjid-masjid, untuk ikut serta dalam jihad dan berinfak fi sabilillah.

Menjelang malam harinya, ada orang yang mengetuk pintu. Tatkala kubukakan, ternyata ada seorang wanita yang menutupi wajahnya dengan gaunnya.

"Apa yang anda inginkan?" tanyaku.
"Andakah yang bernama Abu Qudamah?" katanya balik bertanya.
"Benar," jawabku.

"Andakah yang hari ini mengumpulkan dana untuk membantu jihad di perbatasan?" tanyanya kembali.
"Ya, benar," jawabku.

Maka wanita itu menyerahkan secarik kertas dan sebuah bungkusan terikat, kemudian berpaling sambil menangis.
Pada kertas itu tertulis, "Anda mengajak kami untuk ikut berjihad, namun aku tidak sanggup untuk itu. Maka kupotong dua buah kuncir kesayanganku1** agar Anda jadikan sebagai tali kuda Anda. Kuharap bila Allah melihatnya pada kuda Anda dalam jihad, Dia mengampuni dosaku karenanya."

"Demi Allah, aku kagum atas semangat dan kegigihannya untuk ikut berjihad, demikian pula dengan kerinduannya untuk mendapat ampunan Allah dan Surga-Nya," kata Abu Qudamah.

Keesokan harinya, aku bersama sahabatku beranjak meninggalkan Raqqah. Tatkala kami tiba di benteng Maslamah bin Abdul Malik, tiba-tiba dari belakang ada seseorang penunggang kuda yang memanggil-manggil,

"Hai Abu Qudamah.. Hai Abu Qudamah.. tunggulah sebentar, semoga Allah merahmatimu," teriak orang itu.

"Kalian berangkat saja duluan, biar aku yang mencari tahu tentang orang ini," perintahku kepada para sahabatku.

Ketika aku hendak menyapanya, orang itu mendahuluiku dan mengatakan, "Segala puji bagi Allah yang mengizinkanku untuk ikut bersamamu, dan tidak menolak keikutsertaanku."

"Apa yang kau inginkan?" tanyaku.
"Aku ingin ikut bersamamu memerangi orang-orang kafir," jawabnya.

"Perlihatkan wajahmu, aku ingin lihat, kalau engkau memang cukup dewasa dan wajib berjihad, akan aku terima. Namun jika masih kecil dan tidak wajib berjihad, terpaksa kutolak." kataku.
Ketika ia menyingkap wajahnya, tampaklah olehku wajah yang putih bersinar bak bulan purnama. Ternyata ia masih muda belia, dan umurnya baru 17 tahun.

"Wahai anakku, apakah kamu memiliki ayah?" tanyaku.
"Ayah terbunuh di tangan kaum Salibis dan aku ingin ikut bersamamu untuk memerangi orang-orang yang membunuh ayahku," jawabnya.

Bagaimana dengan ibumu, masih hidupkah dia?" tanyaku lagi.
"Ya," jawabnya.
"Kembalilah ke ibumu dan rawatlah ia baik-baik, karena surga ada di bawah telapak kakinya," pintaku kepadanya.

"Kau tidak kenal ibuku?" tanyanya
"Tidak," jawabku.
"Ibuku ialah pemilik titipan itu," katanya.
"Titipan yang mana," tanyaku

"Dialah yang menitipkan tali kuda itu," jawabnya.
"Tali kuda yang mana?" tanyaku keheranan.

"Subhanallah..!! Alangkah pelupanya Anda ini, tidak ingatkah Anda dengan wanita yang datang tadi malam menyerahkan seutas tali kuda dan bingkisan?"
"Ya , aku ingat," jawabku.

"Dialah ibuku! Dia menyuruhku untuk berjihad bersamamu dan mengambil sumpah dariku supaya aku tidak kembali lagi," katanya.
"Ibuku berkata, "Wahai anakku, jika kamu telah berhadapan dengan musuh, maka janganlah kamu melarikan diri. Persembahkanlah jiwamu untuk Allah. Mintalah kedudukan di sisi-Nya, dan mintalah agar engkau ditempatkan bersama ayah dan paman-pamanmu di Jannah. Jika Allah mengaruniaimu mati syahid, maka mintalah syafa'at bagiku."

Kemudian ibu memelukku, lalu menengadahkan kepalanya ke langit seraya berkata, "Ya Allah.. ya Ilahi.. inilah puteraku, buah hati dan belahan jiwaku, kupersembahkan dia untukmu, maka dekatkanlah dia dengan ayahnya."
"Aku benar-benar takjub dengan anak ini," kata Abu Qudamah, lalu anak itupun segera menyela,
"Karenanya, kumohon atas nama Allah, janganlah engkau halangi aku untuk berjihad bersamamu. InsyaaAllah akulah asy-syahid putra asy-syahid. Aku telah hafal al-Qur'an. Aku juga jago menunggang kuda dan memanah. Maka janganlah meremehkanku hanya karena usiaku yang masih belia," kata anak itu memelas.

Setelah mendengar uraiannya aku tidak kuasa melarangnya, maka kusertakanlah ia bersamaku.

Demi Allah, ternyata tidak pernah kulihat orang yang lebih cekatan darinya. Ketika pasukan bergerak, dialah yang tercepat ketika kami singgah untuk beristirahat, dialah yang paling sibuk mengurus kami, sedang lisannya tidak pernah berhenti dari dzikrullah sama sekali.

Kemudian kamipun singgah di suatu tempat dekat pos perbatasan. Saat itu matahari hampir tenggelam dan kami dalam keadaan berpuasa. Maka ketika kami hendak menyiapkan hidangan untuk berbuka dan makan malam, bocah itu bersumpah atas nama Allah bahwa ialah yang akan menyiapkannya. Tentu saja kami melarangnya karena ia baru saja kecapaian selama perjalanan panjang tadi.

Akan tetapi bocah itu bersikeras untuk menyiapkan hidangan bagi kami. Maka ketika kami beristirahat di suatu tempat, kami katakan kepadanya, "Menjauhlah sedikit agar asap kayu bakarmu tidak mengganggu kami."

Maka bocah itupun mengambil tempat yang agak jauh dari kami untuk memasak. Akan tetapi bocah itu tidak kunjung tiba. Mereka merasa bahwa ia agak terlambat menyiapkan hidangan mereka.

"Hai Abu Qudamah, temuilah bocah itu. Ia sudah terlalu lama memasak. Ada apa dengannya?" pinta seseorang kepadaku. Lalu aku bergegas menemuinya, maka kudapati bocah itu telah menyalakan api unggun dan memasak sesuatu di atasnya. Tapi karena terlalu lelah, iapun tertidur sambil menyandarkan kepalanya pada sebuah batu.

Melihat kondisinya yang seperti itu, sungguh demi Allah aku tidak sampai hati mengganggu tidurnya, namun aku juga tidak mungkin kembali kepada sahabat-sahabatku dengan tangan hampa, karena sampai sekarang kami belum menyantap apa-apa.

Akhirnya kuputuskan untuk menyiapkan makanan itu sendiri. Akupun mulai meramu masakannya, dan sambil menyiapkan masakan, sesekali aku melirik bocah itu. Suatu ketika terlihat olehku bahwa bocah itu tersenyum. Lalu perlahan senyumnya makin melebar dan mulailah ia tertawa kegirangan.

Aku merasa takjub melihat tingkahnya tadi, kemudian ia tersentak dari mimpinya dan terbangun.
Ketika melihatku menyiapkan masakan sendirian, ia nampak gugup dan buru-buru mengatakan, "Paman, maafkan aku, nampaknya aku terlambat menyiapkan makanan bagi kalian."

"Ah tidak, kamu tidak terlambat kok," jawabku.
"Sudah, tinggalkan saja masakan ini, biar aku yang menyiapkannya, aku adalah pelayan kalian selama jihad," kata bocah itu.

"Tidak," sahutku, "Demi Allah, engkau tidak kuizinkan menyiapkan apa-apa bagi kami sampai engkau menceritakan kepadaku apa yang membuatmu tertawa sewaktu tidur tadi? Keadaanmu sungguh mengherankan," lanjutku.
"Paman, itu sekedar mimpi yang kulihat sewaktu tidur," kata si bocah.
"Mimpi apa yang engkau lihat?" tanyaku.

"Sudahlah, tidak usah bertanya tentangnya. Ini masalah pribadi antara aku dengan Allah," sahut bocah itu.
"Tidak bisa "Mimpi apa yang engkau lihat?" tanyaku.

"Sudahlah, tidak usah bertanya tentangnya. Ini masalah pribadi antara aku dengan Allah," sahut bocah itu.
"Tidak bisa, kumohon atas nama Allah agar kamu menceritakannya," kataku.

"Paman, dalam mimpi tadi aku melihat seakan aku berada di Jannah, kudapati Jannah itu dalam segala keindahan dan keanggunannya, sebagaimana yang Allah ceritakan dalam al-Qur'an.

Ketika aku jalan-jalan di dalamnya dengan terkagum-kagum, tiba-tiba tampaklah olehku sebuah istana megah yang berkilauan, dindingnya dari emas dan perak, terasnya dari mutiara dan batu permata, dan gerbangnya dari emas.

Di teras itu ada kerai-kerai yang terjuntai, lalu perlahan kerai itu tersingkap dan tampaklah gadis-gadis belia nan cantik jelita, wajah mereka bersinar bak rembulan."

Kutatap wajah-wajah cantik itu dengan penuh kekaguman, sungguh, kecantikan yang luar biasa, gumamku, lalu muncullah seorang gadis lain yang lebih cantik dari mereka, dengan telunjuknya ia memberi isyarat kepada gadis yang ada di sampingnya seraya mengatakan, "Inilah (calon) suami al-Mardhiyyah.. ya, dialah calon suaminya.. benar, dialah orangnya!"

Aku tidak paham siapa itu al-Mardhiyyah, maka aku bertanya kepadanya, "Kamukah al-Mardhiyyah..?"
"Aku hanyalah satu di antara dayang-dayang al-Mardhiyyah.." katanya. "Anda ingin bertemu dengan al-Mardhiyyah..?" tanya gadis itu.
"Kemarilah.. masuklah ke sini, semoga Allah merahmatimu," serunya.

Tiba-tiba kulihat diatasnya ada sebuah kamar dari emas merah.. dalam kamar itu ada dipan yang bertahtakan permata hijau dan kaki-kakinya terbuat dari perak putih yang berkilauan.
Dan di atasnya.. seorang gadis belia dengan wajah bersinar laksana surya!! Kalaulah Allah tidak memantapkan hati dan penglihatanku, niscaya butalah mataku dan hilanglah akalku karena tidak kuasa menatap kecantikannya..!!!
Tatkala ia menatapku, ia menyambutku seraya berkata, "Selamat datang, hai Wali Allah dan Kekasih-Nya. Aku diciptakan untukmu, dan engkau adalah milikku."

Mendengar suara merdu itu, aku berusaha mendekatinya dan menyentuhnya.. namun sebelum tanganku sampai kepadanya, ia berkata, "Wahai kekasihku dan tambatan hatiku.. semoga Allah menjauhkanmu dari segala kekejian.. urusanmu di dunia masih tersisa sedikit.. InsyaaAllah besok kita akan bertemu selepas Ashar."
Akupun tersenyum dan senang mendengarnya."

Abu Qudamah melanjutkan, "Usai mendengar cerita si bocah yang indah tadi, aku berkata kepadanya, "InsyaaAllah mimpimu merupakan pertanda baik."

Lalu kamipun menyantap hidangan tadi bersama-sama, kemudian meneruskan perjalanan kami menuju pos perbatasan.

1. Ibnul Jauzi dalam komentarnya mengatakan, "Wanita ini niatnya baik, namun caranya keliru karena ia tidak tahu bahwa perbuatannya itu - yakni memotong kucirnya – terlarang, karenanya dalam hal ini kita hanya menyoroti niatnya saja."

Note:
Pelajaran penting dari kebiasaan ulama salaf dalam menjaga kemurnian ilmu (Islam). Yaitu kekeliruan2 saudaranya memang tetap disebutkan agar tidak dijadikan hujjah atau contoh oleh yang lain. Jadi sama sekali tidak boleh diartikan untuk memojokkan seorang muslim.
Dan kebiasaan para ulama sendiri juga selalu minta di check dan dikoreksi terutama pada kitab2 mereka, karena mereka takut pertanggung jawabnya diakhirat kelak. Menjaga kemurnian dan kebenaran Islam haruslah lebih kita utamakan dari pada harga diri individu/personal.
Semoga penjelasan ini bisa sedikit mereduksi salah paham atas postingan artikel/kritikan selama ini yang mungkin kurang bisa diterima.

Dikutip dari website Muchsinin, dari kitab al-Musytaaquuna ilal Jannah.

Budak Kecil Yang Dermawan

Kisah ini terjadi pada sahabat Abdullah bin Ja’far. Pada suatu hari Abdullah bin ja’far ketika dalam perjalanan menuju ladangnya melewati kebur kurma milik seseorang. Dilihatnya seorang anak laki-laki kecil berkulit hitam, yang ternyata ia adalah seorang budak yang bekerja dikebun kurma itu.

Adullah melihat budak kecil itu tengah membuka bekal makan siangnya saat istirahat. Mendadak ada seekor anjing yang tampak kelaparan memasuki kebun kurma. Anjing itu mendekati anak kecil tersebut. Lidahnya menjulur-julur seolah menunjukkan bahwa ia tengah kelaparan.

Budak kecil tersebut melihatnya dan timbullah rasa ib. Dan tanpa berpikir panjang ia mengambil sepotong makanannya lalu diberikan kepada anjing itu. Dengan amat lahapnya sianjing memakannya. Maka hanya dengan waktu singkat habislah makanan tersebut. Sianjing kembali mendekati sibudak kecil tersebut seolah-olah minta makanan lagi.

Si budak kecil tersenyum. Diberikannya sepotong makanan lagi pada anjing , yang lantas memakannya dengan lahap. Tetapi itu pun belum cukup bagi sianjing, hingga ia menatap lagi kepada si budak kecil tersebut.

Kembali si budak kecil itu memberikan sepotong makanannya lagi hingga habislah semua perbekalan makan siangnya.

Dari tempat yang jaung Abdullah melihat dengan keheranan. Karena sangat penasaran lantas iapun datang menghampiri si budak kecil tersebut.

Hei, nak! Berapa banyak perbekalanmu makan siangmu yang kamu bawa?. Budak kecil menjawab,”sebanyak makanan yang telah kuberikan kepada anjing ini tuan”.

Abdullah tambah keheranan, lalu ia bertanya, “ jika demikian, mengapa pula engkau lebih mengutamakan anjing ini dibandingkan dirimu sendiri?! Mengapa engkau malah memberikan semua bekal makan siangmu kepada anjing ini?!”

Sibudak kecil menjawab,”Tuan saya kira anjing ini bukan dari daerah sini, karena tidak ada anjing di sekiar sini!”.

Abdullah termenung mendengar penuturan budak kecil tersebut. Serasa diiris sembilu hatinya mengetahui kebaikan budak kecil didepanya tersebut, begitu mulia hati anak kecil itu, kedermawanannya jauh melebihiku, katanya dalam hati.

“Siapakah tuanmu!, aku ingin berjumpa tolong panggilkan!” kata Abdullah din Ja’far. Lalu budak kecil tersebut menyebutkan dan mempertemukannya dengan tuan sibudak tersebut.

Setelah bertemu dengan tuan si budak kecil tersebut, Abdullah bin Ja’far menguarakan keinginanya. Ia ingin membeli kebun kurma itu berikut seluruh peralatan untuk bekerja di kebun itu dan termasuk juga budak kecil berhati mulia itu.Sang majikan bersedia memenuhi permintaan Abdullah bin Ja’far tersebut.

“Nak, mulai sekarang engkau menjadi orang merdeka. Dan mulailah sekaran ini juga, kebun kurma ini berikut seluruh alat-alat kerja di kebun ini semua milikmu,” kata Abdullah bin Ja’far. inilah kisah-kisah teladan yang harus kita ambil hikmahnya. (Kisah ini diceritakan kembali oleh: Mumtaz)